JAKARTA, SELASA - Para
guru yang baru pulang mengabdi sebagai guru tidak tetap tetap bagi anak-anak
Tenaga Kerja Indonesia atau TKI di Sabah, Malaysia merasa diperlakukan habis manis sepah dibuang. Mereka menuntut manajemen program itu diperbaiki.
Terdapat
50 guru yang baru saja habis masa kontraknya dan kembali ke Tanah Air akhir
Agustus lalu. Tadinya ada 109 guru pemerintah Indonesia tersebar di sejumlah
daerah perkebunan kelapa sawit di Sabah. Mereka menyampaikan keluhan tersebut
dalam jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Selasa (2/9).
Ketua
Forum Guru Tidak Tetap di Sabah, Tetep Saipul mengatakan, mereka bekerja tanpa
mengetahui secara jelas MoU antara pemerintah, pemerintah Malaysia, dan Humana
Child Aid Society. Humana merupakan organisasi nonpemerintah pengelola pusat bimbingan
belajar bagi anak TKI. Guru tidak tetap asal Indonesia yang terseleksi dan
berpendidikan minimal strata satu itu kemudian ditempatkan di pusat-pusat
belajar yang dikelola Humana. Mereka dikontrak selama dua tahun oleh pemerintah
Indonesia.
Kondisi
guru juga memprihatinkan. Sebagian dari mereka tinggal di sekolah tanpa
fasilitas dasar memadai seperti keberadaan kamar mandi. Mereka juga harus
mengajar multigrade. Supervisor Guru Tidak Tetap yang menangani anak-anak TKI
di Sabah dari Departemen Pendidikan Nasional, Kamal Fikri mengungkapkan, para
guru memang bekerja dalam kondisi yang berat dan melampui batas kewajiban
mereka. Permasalahan pendidikan anak TKI di Malaysia sangat kompleks, ujarnya.
Akan
tetapi, pengabdian mereka tersebut tidak berbalas pengalaman manis. Gaji mereka
kemudian menjadi persoalan. Mereka seharusnya mendapat Rp 6.032.000 per bulan.
Namun, yang diterima hanya Rp 4.937.500 lantaran dipotong administrasi
pembelajaran sebesar Rp 1.050.000. Padahal, guru-guru tidak merasakan hasilnya,
begitu pula dengan potongan asuransi yang menurut guru tidak banyak bermanfaat.
Guru juga tidak mendapatkan pelayanan yang layak dari Malaysia . Saat sakit
mereka harus mengeluarkan biaya lagi. Padahal, biaya asuransi setiap guru
berjumlah 800 RM atau sekitar dua juta rupiah. Salah seorang guru, Murnilawati,
bahkan sempat tidak mendapat gaji selama enam bulan. Rapelannya baru diterima
sesampainya di Indonesia dan itupun setelah diklaim, ujarnya. Sebagai guru
tidak tetap, nasib mereka sepulangnya ke tanah air juga belum ada kejelasan
atau menjadi pengangguran.
Kepergian
mereka ke Malaysia dengan seremonial meriah dan diantarkan para pejabat
Departemen Pendidikan Nasional, Wakil Presiden RI dan Menteri Pendidikan
Nasional. Namun, proses pemulangan mereka jauh berbeda. Tidak ada satu pun
pejabat dan tim dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PMPTK) Depdiknas yang menyambut mereka di Sabah seperti saat
pemberangkatan dulu. Mereka juga sempat kekurangan dana kepulangan sehingga
supervisor mereka harus meminjam uang sekitar 2.000 RM dari Humana.
Sesampainya
di Jakarta, tempatnya di Wisma Handayani, hanya dua orang staf PMPTK yang
menyambut dan diakhiri ucapan terima kasih serta pemberian surat keterangan
telah melaksanakan tugas di Sabah. "Setelah itu pergi meninggalkan kami di
wisma sampai saat ini. Kami merasa sebagai guru, habis manis sepah
dibuang," ujar Khoerul Wajid yang juga wakil Koordinator Batch I program
itu. Agar terdapat perbaikan, mereka meminta adanya evaluasi komprehensif
terhadap program pengiriman guru untuk anak TKI di Sabah, Malaysia baik
mengenai keberadaan anak TKI maupun guru yang mengabdikan diri di sana.