KOMPAS/AMBROSIUS HARTO
Anak-anak TKI menempuh ujian nasional Paket A di kompleks perusahaan perkebunan kelapa sawit Felda Plantations Sendirian Berhad di Lahad Datu, Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur, Jumat (3/7/2009) lalu.
Anak-anak TKI menempuh ujian nasional Paket A di kompleks perusahaan perkebunan kelapa sawit Felda Plantations Sendirian Berhad di Lahad Datu, Negara Bagian Sabah, Malaysia Timur, Jumat (3/7/2009) lalu.
Senin, 25 Oktober 2010 | 10:36 WIB
KINABALU, KOMPAS.com — Dari sekitar 50.000 anak tenaga kerja Indonesia yang
tercatat di Sabah, Malaysia, hanya sekitar 10.000 anak yang mengenyam pendidikan
sekadarnya. Sebanyak 40.000 anak lainnya tidak mengenyam pendidikan. Jumlah
anak yang tak mengenyam pendidikan lebih banyak lagi jika ditambah dari wilayah
lain.
Kenyataan ini terungkap dalam
kunjungan kerja Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Kota Kinabalu,
Sabah, Jumat-Sabtu (23/10/2010). Pada kesempatan itu, Nuh berdialog dengan para
tenaga kerja Indonesia (TKI), para siswa, dan pendidik, serta mengunjungi pusat
kegiatan belajar masyarakat (PKBM) untuk anak-anak TKI. Beliau didampingi antara
lain oleh Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Tatang Razak dan Konsul Jenderal
RI di Kota Kinabalu Soepeno Sahid.
Soepeno menjelaskan, anak-anak TKI,
khususnya di Sabah, baru mendapatkan pendidikan sekadarnya; asalkan bisa
membaca, menulis, dan menghitung. Anak-anak Indonesia itu tidak boleh menjadi
siswa di sekolah milik Pemerintah Malaysia, sedangkan untuk bersekolah di
sekolah swasta, mereka tidak sanggup karena biayanya mahal.
Para pekerja Indonesia itu umumnya
bekerja di pabrik kayu, kelapa sawit, hingga pembantu rumah tangga. Kebanyakan
TKI itu sudah bekerja di Sabah selama belasan hingga puluhan tahun. TKI itu
terutama berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Sumatera, dan Jawa.
Walau demikian, sejumlah anak TKI
akhirnya bisa mengenyam pendidikan nonformal dan ikut ujian paket kesetaraan
karena adanya inisiatif dari guru-guru sukarelawan dari kalangan TKI yang
prihatin dengan masa depan anak-anak bangsa ini. Adapun yang tidak bersekolah
banyak yang ikut bekerja bersama orangtua mereka di perkebunan-perkebunan di
wilayah Sabah yang lokasinya terpencar-pencar.
Menurut Soepeno, layanan pendidikan
nonformal untuk anak-anak TKI masih memiliki kendala legalitas pelaksanaan.
Pasalnya, Kementerian Pelajaran Malaysia tidak mengenal istilah pendidikan
nonformal yang dilaksanakan PKBM atau learning center seperti yang
diterapkan di Indonesia. Pendidikan di Malaysia hanya lewat jalur formal.
Lakukan pendekatan
Pemerintah Indonesia hingga saat ini
terus melakukan pendekatan kepada Pemerintah Malaysia agar
perusahaan-perusahaan Malaysia yang mempekerjakan TKI memberikan fasilitas
tempat untuk learning center.
Bibiana Pulo Beda, pimpinan PKBM
Biah di Keningau yang berjarak sekitar 6 kilometer dari pusat Kota Kinabalu,
mengatakan, kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak-anak mereka cukup
tinggi karena mereka berharap keturunannya berpendidikan dan bisa memiliki masa
depan yang lebih baik. Sementara itu, Nuh mengatakan bahwa anak-anak TKI
layaknya anak-anak di Tanah Air. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan. (ELN)